Penganut paham modernisme percaya, bahwa masalah utama negara berkembang adalah kurangnya modal. Adapun modal sendiri merupakan suntikan dana yang diberikan oleh negara-negara maju. Hal ini disebut juga dengan istilah institusi impor. Namun tentu, dampak negatif dari suntikan dana ini ialah munculnya ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju. Jika tidak disikapi dengan bijak, tentu bukan tidak mungkin investasi dari pihak asing malah berakhir menjadi monopoli perdagangan di negara kita. Mulai dari menguasai sektor tanah kita hingga pertambangan kita.
Bagaimanapun, Dos Santos (dalam Fakih, 2003) menyatakan, konsep ketergantungan (dependence) tak dapat dibahas di luar atau terpisah dari teori imperialisme, atau bahkan merupakan pelengkap dari teori imperialisme itu sendiri. Saya pribadi menyebutnya imperialisme gaya modern dengan investasi pihak asing tanpa batasan-batasan yang pasti. Berikut dua pernyataan Lall (dalam Fakih, 2003) mengenai teori dependensia, yaitu: 1) Mereka yang percaya bahwa dependensia selalu akan membawa kemiskinan; 2) Mereka yang percaya bahwa pertumbuhan adalah mungkin, tetapi selalu menjadi subordinat dari pusat.
Pemerintah negara berkembang juga harus menggunakan dana yang disuntikkan itu untuk merestrukturasi ekonominya. Salah satunya dengan menambah teknologi modern dalam sektor produksinya. Negara berkembang tidak bisa terus-terusan mengandalkan mesin produksi yang usang, guna menghasilkan kulitas produksi yang mampu bersaing dengan zaman. Bila di daerah, penanaman modal itu bisa ditunjukkan pada bidang produksi bahan mentah dan produksi pertanian, sehingga hasilnya bisa lebih maksimal.
Selain itu, pengadaan teknologi modern jangan hanya berlaku bagi pusat, tapi juga seluruh daerah yang berpotensi produksi di negara berkembang tersebut. Tindakan ini akan menjamin pemerataan distribusi pendapatan antara daerah dan pusat, sehingga mengakhiri ketimpangan yang ada. Karena tidak dapat kita pungkiri, bahwa selama ini produksi ekonomi kita cenderung terkosentrasi ke pusat. Apalagi, dengan keberadaan perusahaan multinasional di sana.
Kritik Terhadap Teori Dependensia
Beberapa pakar mengkritik teori dependensia, karena penganut mazhab ini dinilai hanya melihat masalah dari faktor eksternalnya saja. Padahal, kemiskinan yang mendera negara berkembang juga disebabkan oleh negara itu sendiri. Jadi, bukan semata perkara penetrasi kapitalis-imperialis melalui suntikan modal.
Mereka meyakini, bahwa kemiskinan yang mendera masyarakat negara berkembang adalah karena keterbelakangan mereka sendiri. Sehingga, terus-menerus berketergantungan pada negara maju. Untuk itu, beberapa pakar menawarkan solusi, yakni: meningkatkan keterampilan berwiraswasta dan mulai berdikari dengan modal yang ada. Jadi, tidak terus-menerus berketergantungan tanpa sedikitpun menghasilkan.
Sayang, teori dependensia masih masyhur pada masyarakat dunia ketiga. Khususnya di lingkungan birokrat, aparat dan akademisi pembangunan kita. Sehingga, beketergantungan terhadap negara maju masih dianggap sebagai solusi nyata, guna menyelesaikan masalah tanah air.
Last but not least, Wallerstain dan pengikutnya mencita-citakan suatu tata ekonomi dunia yang demokratis dan egaliter. Karena selama ini, berhasilnya pembangunan negara maju kerap dibayar oleh keringat dan penderitaan negara berkembang. Ibarat drakula yang terus-menerus menghisap darah, tentu saja pada saatnya model pembangunan ini akan membawa konflik skala global. Terkhusus dari negara-negara dunia ketiga yang merasa gagal menerapkan teori dependensia milik negara maju.
Referensi:
Labels: Opinion
Khairullah Bin Mustafa on Blogspot
Good post bg