Sebelum negeri ini merdeka, Indonesia telah terkungkung dalam kemiskinannya. Hal ini terjadi karena kebijakan politik kolonial kala itu, yang menyengsarakan negara jajahannya. Mulai dari membeli rempah-rempah[1] kita dengan harga murah, dan menjualnya lagi dengan harga tingggi di pasar Eropa. Hingga kebijakan culture stelsel[2] dan romusha[3] yang semakin mencekik leher rakyat. Akibatnya, penjajah untung dan kita buntung di negeri gemah ripah loh jinawi[4] ini.
Hingga pasca kemerdekaan, Indonesia masih belum benar-benar keluar dari kemiskinannya. Sebagian ahli berpendapat, ini terjadi karena mental dan demografi kita yang membludak. Untuk masalah mental, Presiden Joko Widodo telah menggagas gerakan revolusi mental, guna mengubah mental pesimis bangsanya menjadi positif dalam meraih kemajuan bangsa. Jadi, mental masyarakat dulu yang harus berubah jika ingin maju. Tidak boleh lagi bermental kerupuk. Mental bangsa kita harus benar-benar dirubah!
Untuk masalah demografi, jumlah penduduk kita masih berpredikat keempat terbesar di dunia (https://kominfo.go.id, diakses pada 24/11/2017, pukul 7:37). Ditambah lagi dengan Indonesia yang mengalami bonus demografi[5]. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan bonus demografi yang ada dengan maksimal. Bukan malah menjadikannya buah simalakama kemiskinan. Selain itu, KB[6] dan program semacamnya mungkin dapat terus dilanjutkan, karena terbukti mampu meredam angka kelahiran. Apalagi ditengah kondisi kita yang sangat semrawut, dan jumlah lapangan kerja yang sedikit. Program KB masih kita butuhkan.
Sejatinya, upaya mereduksi kemiskinan telah dilakukan dengan berbagai cara. Seperti melalui program KIK, KUD, KCK, Supra Insus, KUK, Bimas, PKT, dan IDT pada masa Orde Baru. Hingga kini, program Dana Desa sebagai pengganti BLT (Bantuan Langsung Tunai). Namun realitas kemiskinan masih tetap ada. Mengapa? Karena pengadaan dana tersebut, belum dibarengi dengan kesiapan aparatur negaranya. Ketidaksiapan ini jelas berujung di pengadilan, yang menyebabkan proses pembangunan pun terhambat.
“Nah, walaupun enggak siap, Bapak Presiden paksakan, bahwa kalau kita tidak mulai, mereka tidak akan pernah mulai. Jadi harus mulai duluan apapun resikonya. Tugas kita semua untuk melakukan pendampingan dan pengawasan,” (petikan wawancara khususdetikfinance dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, diakses pada 24/11/2017, pukul 7:59 wib).
Solusi Mereduksi Kemiskinan
Setidaknya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mereduksi kemiskinan, diantaranya: 1) Upaya mereduksi kemiskinan harus benar-benar menyentuh persoalan sesungguhnya di masyarakat. Bukan malah sekedar ‘membagi-bagikan’ uang dalam jumlah tertentu, tanpa pengawasan yang berarti; 2) Tidak lagi mentolerir oknu-oknum pejabat yang ‘bermain’ dalam menyalurkan dana desa. Akuntabilitas dan transparansi merupakan sebuah kewajiban dari lembaga penyalurnya. Masyarakat juga harus berpartisipasi aktif dalam mengawal dana tersebut; 3) Pola kerjasama dalam institusi negara meniscayakan terjadinya pemahaman bersama, bahwa uang rakyat seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Bukan malah untuk kepentingan pribadi/ segelintir pihak saja. Pola kerjasama dalam institusi negara harus bersepakat, untuk tidak membantu oknum-oknum mereka yang terlibat korupsi. Bahkan, perlu memberikan mereka sanksi yang tegas; 4) Rasa saling percaya antar elemen bangsa, juga dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Rasa saling percaya ini meliputi: kejujuran, sikap egaliter dan toleransi. Ketiga hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam membangun suatu negara.
Salah satunya kejujuran, yang merupakan benda langka di negeri ini. Contohnya Setya Novanto yang kerap kali mangkir dari pemeriksaan KPK. Padahal, jika dia mengaku tidak bersalah, cukup dengan membuktikannya di pengadilan. Bukan malah berkelit dengan sejumlah dalih yang terkesan ‘dibuat-buat’. Apa yang telah dilakukan Setnov itu jelas meruntuhkan kredibilitasnya di mata rakyat. Mengacu kepada beberapa poin di atas, maka sudah seharusnya kita mampu mereduksi kemiskinan yang ada. –Sekian.
[1] Rempah-rempah adalah bagian tumbuhan yang beraroma atau berasa kuat, yang digunakan dalam jumlah kecil di makanan. Sebagai pengawet atau perisa dalam makanan (id.m.wikipedia.org, diakses pada 24/11/2017, pukul 7:15 wib).
[2] Pada tahun 1830, pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem tanam paksa (culture stelsel). Dengan tujuan utama mengisi kas pemerintah jajahan yang kosong, atau menutup defisit (id.m.wikipedia.org, diakses pada 24/11/2017, pukul 7:19 wib).
[3] Romusha adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia, yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang. Tepatnya pada tahun 1942 – 1945.
[4] Gemah ripah loh jinawi merupakan ungkapan untuk menggambarkan keadaan bumi Indonesia, yang kaya akan alam yang berlimpah.
[5] Fenomena Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk usia produktif (https://ugm.ac.id, diakses pada 24/11/2017, pukul 7:46 wib).
[6] KB (Keluarga Berencana adalah gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera, dengan membatasi kelahiran.
Labels: Opinion
Khairullah Bin Mustafa on Blogspot