Hari ini, Maun diundang berbuka puasa di rumah si Suman. Seperti puasa-puasa sebelumnya, mereka berdua sering menggelar buka bareng di rumah, kadang di rumah Maun, kadang di rumah Suman. Pokoknya, kedua sahabat karib itu saling bertukar jadi tuan rumah. Kebetulan hari ini, Suman yang jadi tuan rumahnya.
Maun tiba satu jam sebelum waktu berbuka puasa tiba. Dia senang berada di rumah si Suman, halamannya luas, ada kolam ikan dan juga balai bersantai di sebelah kiri rumah. Maun menghabiskan waktu di balai itu dengan membaca koran atau majalah. Maklum, si Suman suka mengoleksi koran atau majalah kalau ada liputan menarik dan penting. Lagi asiknya baca koran, di Masjid terdengar pengumuman bahwa sesaat lagi waktu berbuka tiba.
Maun pun bergegas masuk ke dalam rumah. Di dalam sudah ada si Dollah dan istrinya, sementara istri si Suman lagi mengambil tambahan es di kulkas dapur. Mereka sudah menghadap meja makan yang sudah penuh dengan aneka makanan dan minuman: mie caluek grong-grong, kolak, bubur kanji, kurma, bakwan, risol dan beberapa penganan lainnya. Makanan di atas meja itu begitu menggoda selera. Nasi dan lauk juga sudah terhidang, tapi tak ada nasi tambahan. “Mungkin sisanya masih ada di dapur,” guman Maun dalam hati.
Sirene waktu berbuka sudah terdengar dari corong masjid, sementara adzan magrib di layar televisi sudah berkumandang. Mereka serentak mengambil makanan dan minuman di atas meja. Maun hanya minum kolak dan beberapa buah kurma, dan hanya mengambil sedikit bubur kanji. Setelah prosesi buka puasa selesai, mereka bergegas salat magrib di balai sebelah kiri rumah. Rencananya, mereka baru menyantap nasi setelah magrib.
Seusai salat magrib, mereka kembali ke meja makan untuk menyantap nasi. Kali ini, Maun paling semangat. Tadi, dia sengaja berbuka seadanya saja biar dapat menyantap nasi banyak-banyak. Saking lahabnya, tak terasa piringnya sudah bersih, padahal si Dollah atau Suman belum setengahnya habis.
Dia pun memegang piring dan mengetoknya pelan-pelan dengan sendok, sesekali piring itu diputarnya. “Suman, kapan piring ini kamu beli? Perasaan tempo hari bukan begini piringnya,” kata Maun sambil memperlihatkan isi piring yang kosong. Suman yang sudah tahu luar-dalam temannya itu segera mengerti bahwa si Maun minta nasi tambah. Pasalnya, Maun sering bicara menggunakan kode-kode.
Suman segera sadar, bahwa semua nasi sudah terhidang, dan tidak ada nasi tambah. Dia pun bergegas ke dapur, mengambil panci rise cooker beserta sendoknya, dan membawa ke meja makan. Dia angkat panci itu ke hadapan Maun, sambil berkata, “Piring itu saya beli berbarengan dengan panci ini.” Maun jelas bisa melihat ke dalam panci, dan kosong. Mereka pun tertawa. Sementara si Dollah tidak menyadari kondisi yang ada. #BahagiaItuSederhana
Note: tulisan ini pertama kali tayang di sulih.com tabun 2015.
Posted from my blog with SteemPress: Baca juga di https://acehpungo.com/kode-di-balik-sebuah-piring/