Me and the rebels | Photo: Dita Alangkara
"A note; Me, Aceh war and peace"
Long before stepping on foot in Mindanao, Philippines, Jakarta was my first escape place as a young activist at the time. The security factor is the most plausible reason.
Because on May 18, 2003, the Indonesian government officially declared a Military Emergency for Aceh. The war drum is anchored!
The Aceh Referendum Information Center, and KONTRAS are considered as accomplices of the Free Aceh Movement by the government.
And I am one of the staff of the Commission for Disappearances and Victims of Violence of Aceh at that time, with the position of Chairman of Data and Information Division.
The situation of Aceh as a conflict prone area is answered already. There is no sign of the blowing of the peace wind on the earth of rencong land.
One by one friend was kidnapped. The situation made me and other activist associates forced to migrate. In the capital we re-assemble ourselves to continue to talk Aceh.
Countless times I had a demonstration in front of the palace and roundabout hotel indonesia with the same demands; Withdraw military from Aceh, stop violence, bring peace of Aceh and other humanitarian issues.
In addition to joining many movements, Forum Aceh Papua (SAP) was one of the places where I discussed in building the idea of the government's arbitrary resistance to Aceh and Papua.
In early 2004, apart from being a movement activist, I also actively wrote and joined acehkita.com media. As a journalist with simple coverage that is certainly related to Aceh.
Also part of the editorial of a LACAK tabloid that focuses on corruption issues, and internships and lives in Voice of Human Right (VHR) institutions to learn to produce radio news.
My Friend in the Mindanao Peacebuilding Institute
In some of the media I learned a lot about journalism. Experiencing, writing, being a roporter and learning to interview national figures for me is a new challenge.
While in the Capital, apart from working uncertainly, I am also always under the auspices and monitoring of a Kalyanamitra organization. Organizations that focus on women and children issues.
I was also financed by the organization as part of a process of concern to activists who left Aceh for security purposes and 'fought' again in the center of the country.
Various sad stories sometimes color day day. Moreover, one day when news came, my younger brother was arrested by the army because he was involved as the Army of Free Aceh. No hope of survival!
The house where I grew up in the village was ransacked by government troops. All the furniture and amenities are sold out. All that remains is debris.
Mother with forced to evacuate and move to another place that is considered safe. I only heard complaints and crying only through the phone line. My day is so dark.
Peace Monitoring Team in The Mindanao
Indonesia Then, mid and late 2004, Jakarta no longer felt safe. Under the leadership of Governor Sutiyoso at the time, there was bad news for the Acehnese.
Orders to record migrant Aceh residents.
That's where I and many colleagues feel discriminated against living and living in the capital. Recorded in such detail for Acehnese.
With many considerations, Identity Card then I changed the name to Heri Setiawan. Born in Lampung. Not only me, many other colleagues are doing the same thing for security reasons.
Feeling worried and various other considerations, then I moved to Batam, after getting a plane ticket from Eknas Walhi in Jakarta.
In Batam I live in a slum area. Aceh Village, Muka Kuning. The government there often label as a nesting area of drugs. It is true! The reality is so.
After two months in Batam, I signed up as a reporter for Batam TV. Alhamdulillah accepted and worked. I am the only journalist living with a fugitive from Aceh in a mafia nest.
Roommate with Panglima Sagoe an area in Pidie District. He is sick! His legs and thighs were shot by bullets in a battle in the Pidie inland forest. Out of Aceh for treatment because of serious problems with his health.
Tsunami of Aceh
Indonesia December 26, 2004. Aceh was the greatest tsunami in history. Hundreds of thousands died.
Thousands more were left homeless. Aceh is crying!
The information quickly spread in Batam. I am half disbelieving and beyond human reason that there is such a catastrophe. But God has another will.
We and some youths then set up meetings as a form of solidarity and caring. Take action that can be helped even small. The moment that is portrayed in the mind is confusion.
Opening post of aid recruitment post from Batam society best solution. Any form of aid, used clothing, indomie and funds may be collected. Once collected and sent to Aceh.
Three months after the tsunami, I decided to return to Aceh. No red and white ID. I still use ID on the name of Heri Setiawan, Lampung waga.
If at any time there are checks and sweeping on the way, of course I have prepared the answer; Want to visit family in Banda Aceh because until now no news.
Peaceful Aceh
However, on 15 August 2005 the Aceh conflict ended. The peace agreement was signed by the Government of Indonesia and Free Aceh Movement in Helsinki, Finland. War stopped. GAM down the mountain. Weapons chopped up!
I went back to Aceh, and took the role of an empowering and peace-building actor by establishing a Center for Humanitarian and Social Empowerment (CHSE) Institution.
CHSE was successful in contracting the program with several international institutions; USAID, SERASI, AFSC, IRD, and Direct Relief International.
Then, in 2007 and 2008, through the People's Forum on support of the Philippine Initiative for International Dialogue (IID), I had the opportunity to learn about conflict resolution at the Mindanao Peace Building Institute (MPI).
As well as being a ceasefire monitor and the opportunity to visit many places in Mindanao as a study. It's an experience that makes me learn many sides.
Coming back from there, a newspaper published by Aceh Independent daily entrusted me as an editor. Survive only two years later I say goodbye.
On the sidelines of busyness as a companion in 2003, I then set up online media, acehcitizen.com and occasionally participate enliven the world kompasiana.com and blogspot.
Now, the steemit where I channel the interest in writing
Jurnalis di Sarang Pemberontak
"Sebuah catatan; Saya, perang Aceh dan Damai"
Jauh sebelum menginjak kaki di Mindanao, Filipina, Jakarta adalah tempat pelarian saya pertama sebagai aktivis muda saat itu. Faktor keamanan menjadi alasan paling masuk akal.
Karena pada 18 Mei 2003, pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan Darurat Militer untuk Aceh. Genderang perang ditabuhkan!
Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dan KONTRAS dianggap sebagai kaki tangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) oleh pemerintah.
Dan saya adalah salah satu staf Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) Aceh saat itu, dengan posisi Ketua Divisi Data dan Informasi.
Situasi Aceh sebagai daerah rawan konflik terjawab sudah. Tak ada tanda tanda berhembusnya angin perdamaian di bumi tanah rencong.
Satu per satu sahabat diculik. Situasi itu membuat saya dan rekan2 aktivis lain terpaksa hijrah. Di ibukota kami merakit diri kembali untuk terus bicara Aceh.
Tak terhitung berapa kali saya demo di depan istana dan bundaran hotel indonesia dengan tuntutan yang sama; Tarik militer dari Aceh, hentikan kekerasan, wujudkan damai Aceh dan isu kemanusiaan lainnya.
Selain bergabung dengan banyak gerakan, Solidaritas Aceh Papua (SAP) salah satu wadah tempat saya berdiskusi dalam membangun ide ide perlawanan kesewenangan pemerintah untuk Aceh dan Papua.
Pada awal tahun 2004, selain menjadi aktivis gerakan, saya juga aktif menulis dan bergabung dengan media acehkita.com. Sebagai jurnalis dengan liputan2 sederhana yang tentu berkaitan dengan aceh.
Juga ikut menjadi bagian dari redaksi sebuah tabloid LACAK yang fokus pada isu korupsi, dan magang serta tinggal di lembaga Voice of Human Right (VHR) untuk belajar memproduksi berita radio.
Di beberapa media itu saya belajar banyak soal jurnalistik. Mendalami, menulis, menjadi roporter dan belajar mewawancarai tokoh tokoh nasional yang bagi saya adalah sebuah tantangan baru.
Selama di Ibukota, selain bekerja tak menentu, saya juga selalu berada dibawah naungan dan monitoring sebuah organisasi Kalyanamitra. Organisasi yang fokus pada isu perempuan dan anak.
Saya juga dibiaya oleh organisasi tersebut sebagai bagian dari proses kepedulian pada aktivis yang hengkang dari Aceh untuk tujuan keamanan dan 'berjuang' lagi di pusat negara.
Beragam kisah sedih kadang mewarnai hari hari. Apalagi suatu ketika datang kabar, adik kandung saya ditangkap tentara karena dia terlibat sebagai Tentara Aceh Merdeka. Tak ada harapan selamat!
Rumah tempat saya dibesarkan di kampung, diobrak abrik pasukan pemerintah. Semua perabotan dan fasilitas ludes. Yang tersisa hanya puing.
Ibu dengan terpaksa mengungsi dan berpindah ke lain tempat yang dianggap aman. Saya hanya mendengar keluh kesah dan tangisnya hanya melalui saluran telpon. Hari hari saya begitu gelap.
Lalu, pertengahan dan akhir 2004, Jakarta tak lagi merasa aman. Di bawah kepemimpinan Gubernur Sutiyoso saat itu, ada kabar tak sedap untuk orang Aceh. Perintah untuk mendata warga Aceh pendatang.
Di situlah saya dan banyak rekan merasa didiskriminasi hidup dan tinggal di ibukota. Didata sedemikian detail khusus untuk orang Aceh.
Dengan banyak pertimbangan, Kartu Tanda Penduduk (KTP) kemudian saya ganti nama menjadi Heri Setiawan. Lahir di Lampung. Bukan hanya saya, banyak rekan lain yang melakukan hal serupa demi alasan keamanan.
Karena merasa risau dan berbagai pertimbangan lainnya, kemudian saya pun pindah ke Batam, setelah mendapat tiket pesawat dari Eknas Walhi di Jakarta.
Di Batam saya tinggal di kawasan kumuh. Kampung Aceh Muka Kuning dengan Rumah Liar (Ruli). Pemerintah di sana kerap memberikan label sebagai kawasan sarang narkoba. Memang benar! Realitanya demikian.
Setelah dua bulan di Batam, lalu saya mendaftar sebagai reporter Batam TV. Alahmdulillah diterima dan bekerja. Saya satu satunya jurnalis yang tinggal bersama pelarian dari Aceh di sarang mafia.
Sekamar dengan Panglima Sagoe sebuah wilayah di Kabupaten Pidie. Dia sakit! Kaki dan pahanya tertembak peluru aparat dalam sebuah pertempuran di hutan pedalaman Pidie. Keluar dari Aceh untuk pengobatan karena mengalami masalah serius dengan kesehatannya.
Tsunami Aceh
26 Desember 2004. Aceh dilanda tsunami terbesar dalam sejarah. Ratusan ribu orang meninggal. Ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal. Aceh menangis!
Informasi itu dengan cepat menyebar di Batam. Saya setengah tidak percaya dan di luar nalar manusiawi bahwa ada bencana sedahsyat itu. Tapi Allah punya kehendak lain.
Kami dan beberapa pemuda kemudian membuat rapat sebagai bentuk solidaritas dan kepedulian. Mengambil tindakan apa yang bisa dibantu meski kecil. Saat itu yang tergambarkan dalam pikiran adalah kekalutan.
Membuka posko posko penerimaan bantuan dari masyarakat Batam solusi terbaik. Apapun bentuk bantuan, pakaian bekas, indomie dan dana boleh dikumpulkan. Setelah terkumpul lalu dikirim ke Aceh.
Tiga bulan setelah tsunami, saya kemudian memutuskan untuk kembali ke Aceh. Tanpa KTP merah putih. Saya masih menggunakan KTP atasnama Heri Setiawan, waga Lampung.
Bila sewaktu waktu ada pemeriksaan dan sweeping dalam perjalanan, tentu jawaban sudah saya siapkan; Ingin jenguk keluarga di Banda Aceh karena hingga kini belum ada kabar.
Aceh Damai
Namun, pada 15 Agustus 2005 konflik Aceh berakhir. Perjanjian damai ditandatangani oleh Pemerintah RI dan GAM di Helsinki, Finlandia. Perang terhenti. GAM turun gunung. Senjata dicincang!
Saya pun kembali ke Aceh, dan mengambil peran sebagai pelaku pemberdayaan dan membangun perdamaian dengan mendirikan sebuah Lembaga Center for Humanitarian and Social Empowerment (CHSE).
CHSE saat itu berhasil melakukan kontrak kerjasama program dengan beberapa lembaga international; USAID, SERASI, AFSC, IRD, dan Direct Relief International.
Kemudian, pada tahun 2007 dan 2008, melalui Lembaga Forum Rakyat atas dukungan Inisiative for International Dialogue (IID) Filipina, saya bekesempatan belajar tentang resolusi konflik di Mindanao Peace Building Institute (MPI).
Sekaligus menjadi pemantau Gencatan Senjata dan berkesempatan berkunjung ke banyak tempat di Mindanao sebagai study. Ini pengalaman yang membuat saya belajar banyak sisi.
Sepulang dari sana, sebuah media terbit harian Aceh Independen mempercayakan saya sebagai redaktur. Bertahan hanya dua tahun kemudian saya pamit.
Di sela-sela kesibukan sebagai tenaga pendamping pada tahun 2003, saya kemudian mendirikan media online, acehcitizen.com dan sesekali ikut meramaikan dunia kompasiana.com serta blogspot. Kini, steemit tempat saya menyalurkan minat menulis.
Baru tau saya, ternyata Bang @andifirdhaus awak awai cit. Saleum hormat Bg. ☺👍
@andifirdhaus njan seb bereh ... cuma jino galak geuh keu politikus ,, ,hahaha
Saban aduen. Nyoe katrep hana tumuleh. Pernah saban2 kamo redaktur dengan bang @zainalbakri bang @ayijufridar dan rakan2 laen. Neubie masukan2 bacut mengenai steemit aduen @musyawirwaspada
Hahaha...nyan ka teubaleek Bang @andifirdhaus. Keunan payah ta meugure. 😀
Situasi Aceh sebagai daerah rawan konflik terjawab sudah. Tak ada tanda tanda berhembusnya angin perdamaian di bumi tanah rencong.
Satu per satu sahabat diculik. Situasi itu membuat saya dan rekan2 aktivis lain terpaksa hijrah. Di ibukota kami merakit diri kembali untuk terus bicara Aceh.
Tak terhitung berapa kali saya demo di depan istana dan bundaran hotel indonesia dengan tuntutan yang sama; Tarik militer dari Aceh, hentikan kekerasan, wujudkan damai Aceh dan isu kemanusiaan lainnya.
KA DIKAP EUNGKOT KALI NYOE hehehe....
Hahaaaaa. Sep bahaya statemen. Tapi bacut2 ta tuleh laju peu2 yang jeut.
Nice
I hope you can give me feedback. Thank you friend
Luar biasa perjuangan andive. Acehforum pakon hana neupasoe bacut hehe
Kiban cara pasoe bak AcehForum.
satu-satu pengalaman masa konflik keluar ,,, ana tunggu dalam articel yang lain
Hahaa. Pengalam2 saat di PCc kajeut neu post laju bacut2. Kiban bung @steem77
Peace upon you brother
Trima kasih bang @hotlisimanjuntak. Semoga abg bisa memberi masukan untuk saya yg lebih baik
Selamat datang bg
Jeit @boynashruddin, nyoe katrep hana tumuleh. Jadi neu bie masukan yng jroh keu lon. Trims