Ilusi Malam Seorang Kalonger-Tundaistis Akut Stadium Akhir

in #indonesia7 years ago

Disclaimer: Kutulis sebagai ayat-ayat pikiran sambil berpura serius memperingatkan diri sendiri. Maklumilah jika tak segurih nasehat para motivator…

Setiap malam, terutama saat ia akan berakhir, segalanya seolah ingin kutuntaskan esok. Segalanya seperti bisa begitu saja bisa ditunda. Sebab, bukankah mentari selalu menepati janji?! Ketika senja melabuhkan lelah ke tiap diri, segala yang belum usai ini hari mesti tertunda oleh sebuah syarat; diri perlu mengurai penat agar teruk tak menghempas tubuh.


Image Source

Namun, bukannya berguna sebagai wahana menghentikan letih, malam kerapkali menjadi pemenuhan janji temu di lepau kopi, pelepasan rindu atas senda-gurau dan canda-tawa pembunuh jenuh. Mengulang cerita indah dan konyol yang pernah teralami bersama sungguh mujarab dan benar mustajab menipu letih barang sejenak.
Mengerjakan hal yang itu-itu saja selama 8 jam bukanlah luka yang dapat sembuh oleh kesendirian. Sebentuk permufakatan kafein sungguh mujarab melemaskan saraf yang tegang dan otot yang letih oleh dera dalam tiap hal bernama kerja.


Image Source

Itu sebab, sebagian dari kita rela meluangkan ‘sedikit’ waktu tidur demi mereguk madu persahabatan. Kelakar akan membangkitkan kobar semangat meski letih menggelayut. Tawa menjadi candu yang melenturkan suasana jenuh setelah seharian terdera tuntutan tanggungjawab saat berkarya. Sebagian dari kita ingin lagi… dan lagi… dan lagi… dan lagi…

Mutiara kelakar seperti mengucur deras dari mataair ilham nan tak kenal kering. Seakan kita mampu terbahak menertawakan segala hal, tak terkecuali ketololan sendiri. Gurih, manis, legit, nikmat dan penuh ceria. Girang bersambut, olok-olok baru lahir dan berujung dengan bahak yang membahana meledak. Tak terlalu ambil-pusing kita pada tatap mata dari meja selingkar yang merasa terganggu oleh hingar dalam gelegak tawa, atau iri dengan kemampuan kita mengolah ketololan menjadi sumber kebahagiaan yang terasa begitu sederhana, murah dan terjangkau.

Bersama.jpg

Betapa kocak hukum semesta yang menyediakan kelakar sebagai bahan obrolan dan komoditas obralan yang tak diperdagangkan dalam matauang manapun; baik milik dara-jelita berkaos You Can See maupun pamungkas moneter bergelar cryptocurrency.

Jangan pula pernah lupa atau takut menerima, sesungguhnya kita punya kemampuan untuk menyelenggarakan perjamuan kafein di beribu meja warung kopi, namun tak punya daya untuk menyeragamkan waktu kematian. Bahkan, jika kita mesti menerima takdir mati bersamaan, jarang sekali ada kesempatan untuk berbagi liang kubur.

Ayolah… usah tertunduk takut menyadarinya, usah surut memikirnya, usah abaikan kenyataan hidup yang satu itu. Terima saja dalam genggaman, cengkeram erat dan gigit dengan geraham bungsumu!

Sebab, mengingkarinya akan menjauhkan kita dari misi untuk menjaga kewarasan diri, juga keseimbangan semesta.
‘Pulang’ terasa begitu berat sebab ‘berkumpul’ telah membuktikan janji nikmat. Suasana hangat seolah kutukan laknat yang sulit lepas saat melekat. Ah… setiap mata jama’ah semeja selalu kesal saat ada yang menatap arloji atau berbalas pesan di perangkat Android maupun iPhone. Namun, ketika sadar 3 jam sudah melewati batas tengah malam, letih yang telah menumpuk di tubuh tak mampu lagi terbendung oleh daya ginjal di pinggang yang sejak 5 jam terakhir mengganjal dudukmu.

Akhirnya, sebaris kata, “Baiklah… sepertinya udah tengah malam, Genk… lain waktu kita ngopi lagi…” terucap dengan nada menyeret enggan; persis kaset lagu Pance F Pondaag yang sudah terlalu lama diputar berulang kali di ‘Boeing’ L300. Bokong-Bokong terangkat setelah bertukar senyum dan menuntaskan dialog yang tersisa, penuh kesan enggan bubar. Segalanya seperti terminal, sementara di tiap meja-kopi-yang-telah-terjanji adalah lubuk dari segala aktivitas. Pusarannya membuat kita ingin selalu kembali…

Saat melangkah ke pelataran parkir, menusukkan kunci ke lubang kuda-besi dan menungganginya menuju peraduan, selaksa beban tanggungjawab kembali hadir. Seperti bayang paras guru matematika menagih PR. Saat itulah pikiran keruh yang telah terjernihkan canda-tawa-senda-gurau menjadi seolah mampu menuntaskan segalanya esok hari, segala yang tak tuntas kemarin. Padahal, ‘kemarin’ telah terlalu letih mengemban janji menuntas tugas esok. Bahkan, esokpun belum tentu mampu menjawab segala krida yang tak tuntas kemarin.

Lagi-Lagi… lagi dan lagi segalanya berulang. Tak tuntas, bergantung menggelayuti atmosfer janji tanggungjawab. Lantas ‘tunda’ menjadi begitu nikmat, seolah segala yang berlangsung kemarin dan hari ini akan begitu saja terjadi esok.

Benar, Kawan… benar sungguh. Sebagai insan berprofesi apapun, kita tetap senasib dengan Sisyphus yang mengemban tugas dari Para Dewa, meletakkan sebongkah batu ke pucuk sebuah bukit. Para Dewa bersekongkol untuk membuat permukaan-puncak-bukit tersebut tak dapat diletaki batu tersebut. Sisyphuspun terjebak mengulang dari awal saat batu menggelinding ke kaki-bukit. Ia tak berdaya selain mengulanginya lagi… lagi… lagi… dan lagi. Begitu menjenuhkan ketika mengalami sendiri bahwa setiap pekerjaan yang kita pilih sebagai sumber mata pencaharian–bahkan kerja yang berlandas gemar sekalipun– tak lebih dari penjabaran i’tibar Sisyphus.

ImageSource

‘Profesi’ laksana Para Dewa yang menghukum Sisyphus akibat kelicikannya. Ia terlalu percaya diri dan sesumbar mampu mengecoh para penguasa Gunung Olympus dengan kecerdikan akalnya. Demikian pula di kehidupan nyata; ketika kita berupaya menipu kekuatan besar di luar diri untuk membeli kebahagiaan yang kita tukar dengan hasil kerja bernama gaji, yang kita anggap mampu membeli kebahagiaan.

Para penulis-pengembara (baca: travel-blogger), penulis-penjajal-boga (baca: culinary-blogger), bahkan bintang-film-porno sekalipun bukanlah pengecualian dari kuasa Sang Jenuh. Betapa ganjil mendapati diri sebagai Sisyphus sementara kita mendamba menjadi Icarus yang berupaya menembus batas daya manusia. Jangan lupa, Kawan… saat pertama Icarus berhasil menembus batas daya manusia untuk terbang, juga bermakna saat-saat terakhir jiwa berada dalam raganya.


ImageSource

Sudahlah, terlalu banyak yang mesti kita semati dengan syukur ketimbang keluh-kesah. Hidup terlalu indah untuk bersedih. Kadang kita menampakkan bersedih supaya tampak manusiawi saja. Padahal, tanpa menampakkan kesedihanpun, kita sudah terlanjur lahir sebagai manusia. Okelah, boleh sedih secukupnya, biar jangan nggak enak ditengok orang. Biar jangan terkesan robot. Tapi jangan beranggapan kesedihan kita istimewa bagi orang. Cuma kita sendiri yang boleh merasakan keistimewaan dari sedih di palung batin.

Jangan pula curhat berlebih, apalagi silap curhat ke penulis skenario atau sutradara. Percayalah, sedihmu cuma bakal jadi sumber rejeki mereka. Di zaman now dengan kualitas berpikir masih sekolot zaman old ini, ironi dan sadisme memiliki tempat tersendiri dalam gemerlap dunia hiburan, teramini menjadi sadomasokisme kolektif. Tersuburkan oleh denyutan empati dan sejumput ngilu simpati.

Perlu bukti? Film Saw yang menghadirkan adegan pembuat ngilu tulang menuai hasil penjualan $103,9 juta. Juga film Korewood dan Bollywood yang bikin para ibu, gadis remaji dan jejaka centil auto-nangis juga menuai laba dari ironi hidup orang. Lantas, apakah itu salah? Aku tak berani menilai, kupikir itu boleh kita pahami sebagai hikmah yang acapkali tereguk sebagai nutrisi dalam metabolisme-benak. Benar-Salahnya belum jadi kewenanganku.

***

Setiap malam, terutama saat ia akan berakhir, segalanya seolah ingin kutuntaskan esok. Segalanya seperti bisa begitu saja ditunda. Sebab mentari selalu menepati janji. Namun, kerapkali aku lupa, bahwa sepasti apapun mentari terbit esok, tak ada yang mampu memastikan bahwa saat Sang Surya menepati janji, tiap smartphone masih memiliki quota dikandung gadget… eh… maksudku, sepasti apapun mentari terbit esok, tak ada yang mampu memastikan bahwa saat Sang Surya menepati janji, setiap kita masih dalam kondisi memiliki hayat di kandung badan.

Sort:  

Kita usahakan yg terbaik aja lah

Suka dengan mainan kaya dan datanya

Aku lebih suka lagi dengan kehadiran Abang di lapak ini...

nah, ini nih kalau udah berbuka puasa, udah mulai terang pikiran hahaha

Jangan karena puasa tak terang pikiran, jangan karena takut tak terang pikiran lantas tak berpuasa...

itu dia, pikiran tak pernah berpuasa bang, bahkan dalam tidur ia tetap bekerja.

Sebenarnya si sipus tak tersiksa.. badannya makin kekar. Yang sayang batunya..diseret2 terus.. hahaa

Hahahahahaha...
Gagal fokus akibat terlalu banyak minum air kelapa.

ayat-ayat pikiran berjuntai bergelantungan pada dinding-dinding kehampaan. Ruang dimensi yang tak bersudut, sumpah serapah itupun semakin renyah dan yang paling disayangkan adalah orang-orang yang kerap kali tenggelam atas pola pikirnya sendiri...
Salut buat Bang Diyus...

Jangan salut, Bro... aku juga sedang tenggelam dalam alam pikir sendiri.
Hahahahahaha...

@resteemator is a new bot casting votes for its followers. Follow @resteemator and vote this comment to increase your chance to be voted in the future!

Ah, jarang ada yang punya gaya "dialog batin" yang seluas ini zaman sekarang.

Cuma koment, bukan curhatan, jangan jadikan tulisan "curhatan" ini ya.

Aku baru baca artikel keterkaitan "kehilangan hormat kepada guru serta keterkaitannya dengan bocoran soal ujian nasional yang kusandingkan dengan undang-undang perlindungan anaknya Safe-Children yang memudahkan guru untuk mencoba penjara" di halaman bg @riodejaksiuroe

Maaf bang telat ku kasih tau mengenai pembahasan kita yang lalu. Baru ku lihat postingan abang ni.

Benar seperti yang abang bilang kemarin bahwa ada juga Suku Singkil memiliki benda tersebut, dan namanya juga seperti yang abang bilang kemarin, ada nago nya. Setelah saya coba cari tahu tentang bensa tersebut ternyata namanya Si Nago Mekhante. Namun dibilang bapak tu sudah sangat jarang nampak keberadaannya, sama halnya seperti di Tamiang. Yakni gak banyak yang tahu, kata abang itu lagi setahunya cuma satu orang lagi yang tau membuat si nago mekhante tersebut. Katanya kalau saya mau jumpa akan dijumpakan. Mungkun itu saja jawabannya bang. Semoga memuaskan, dan tetap terjaga adat dan budaya kita dahulu, kembali lestari dijaman ini.

Wah... jangan minta maaf, Bang... itu bukan tugas, cuma permohonan dariku. Terimakasih atas informasi yang sungguh berharga ini. Aku bakal butuh bantuan lebih lanjut soal Si Nago Mekhante untuk bahan tulisan lanjutan. Maksudku untuk mencari keterkaitan budaya antara Singkil dengan Tamiang. Sebab, tradisi serupa tak kutemukan dalam masyarakat Melayu lain.