Tentang Cara Penulisan Bilangan Tingkat
Alhamdulillah, sudah 13 kali saya menulis ajakan "Tertiblah Berbahasa Indonesia!" di platform Steemit. Yang saya tulis itu selalu menyangkut ejaan. Kali ini saya khususkan bicara angka, tepatnya bilangan tingkat atau bilangan bertingkat.
Per definisi, bilangan tingkat adalah bilangan yang menunjukkan tingkatan atau urutan, misalnya, pertama atau kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Bilangan tingkat ini disebut juga bilangan ordinal, istilah matematika yang bermakna bilangan urutan.
Karena sangat mengerti tentang bilangan bertingkat ini, seorang senior saya di Universitas Syiah Kuala secara terang-terangan menyatakan kegusarannya kepada saya. Yang dia gusarkan adalah pencantuman angka pada sejumlah baliho yang berisi promosi Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) 7 Tahun 2018.
Sumber: Koleksi Tim Ahli PKA Ke-7.
Nurani doktor sastra dan bahasa Indonesia ini tak bisa berdamai dengan keadaan ketika hampir setiap hari dalam sebulan terakhir ia membaca ada angka 7 setelah singkatan PKA di sejumlah baliho. Menurutnya, pencantuman angka 7 pada baliho-baliho di Kota Banda Aceh itu tidak sesuai dengan kaidah penulisan bilangan bertingkat. Ia berharap saya bersedia membahas tentang bilangan tingkat ini di Steemit supaya semuanya menjadi jelas.
Okelah. Saya sahuti permintaannya dan saya pun sependapat dengan apa yang dia nyatakan itu. Soalnya, aturan penulisan bilangan tingkat mengharuskan ada awalan (prefiks) ke- sebelum angka Arab. Angka Arab dimaksud adalah 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Dengan demikian, penulisan yang benar untuk PKA tadi adalah PKA Ke-7, bukan PKA 7.
Persoalan sepele memang. Tapi ketika Panitia PKA melupakan awalan ke- di sejumlah baliho, maka senior saya tadi jadi tak enak tidur setiap malam. Dia berharap, Panitia PKA yang diketuai Wakil Gubernur Aceh mengoreksi kesalahan itu, lalu menulis PKA Ke-7 dengan versi yang benar.
Sebetulnya ada tiga cara penulisan yang benar, yakni: PKA Ke-7, PKA Ketujuh, atau PKA VII.
Sumber: Koleksi Tim Ahli PKA Ke-7. Versi paling ideal dari segi ketentuan penulisan bilangan bertingkat.
Versi salahnya malah lebih banyak lagi: PKA 7, PKA Tujuh, PKA Ke-Tujuh, PKA Ke-tujuh, dan PKA Ke-VII. Artinya, kalau pakai angka Romawi, maka tidak perlu lagi ditambahkan awalan ke-. Kalau ditambahkan, justru salah.
Sumber: Koleksi Tim Ahli PKA Ke-7.
Nah, karena sudah telanjur menyebut angka Romawi, selanjutnya saya akan bahas tentang tata cara penggunaan angka Romawi dalam teks berbahasa Indonesia.
Mari kita segarkan kembali ingatan kita tentang urutan angka Romawi: I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XX, XXX, L (50), C (100), D (500), dan M (1.000).
Penulisan bilangan tingkat menggunakan angka Romawi dapat dilakukan dengan cara ini: abad XX dan Cinema XXI. Jika ditulis ke dalam versi Latin dan Arab, jadinya akan seperti ini: abad ke-20 atau abad kedua puluh dan Cinema Ke-21.
Lalu, apakah boleh ditulis dengan Cinema Kedua Puluh Satu? Jawabnya, tidak boleh. Sebab, angka 21 ketika ditulis dengan huruf, jumlah katanya tiga: a) dua, b) puluh, dan c) satu.
Ketentuan tentang penulisan angka dan bilangan di dalam teks sudah diatur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) Tahun 2015. Bahwa bilangan yang boleh ditulis dengan huruf untuk dimasukkan ke dalam teks hanyalah yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata saja (misalnya tiga, tujuh, sepuluh, sebelas, dua belas, dua puluh, seratus, dan sejuta). Jadi, angka 'dua puluh satu' pada frasa Cinema XXI--karena terdiri atas tiga kata--tidak termasuk dalam kriteria ini. Berarti, Cinema Kedua Puluh Satu termasuk contoh frasa yang salah atau tidak lazim.
Kembali ke corak penulisan PKA 7 tadi, sebaiknya memang harus dipilih versi yang paling benar, yakni PKA Ke-7 atau PKA VII. Keuntungan menggunakan angka Romawi adalah angka ini lebih populer di seantero jagat. Bahkan Olimpiade atau World Cup pun selalu menggunakan angka Romawi. Urutan raja, sultan, Paus Paulus, bahkan Perang Dunia pun demikian. Cuma, kelemahan angka Romawi ini adalah akan memakan space lebih banyak ketika dimasukkan ke dalam frame logo. Apalagi kalau angkanya sampai VIII, XIX, atau XXXIII. Terasa sesak dan menyita banyak tempat, kan?
Tapi ya, terpulang kembali ke Panitia PKA. Apakah mau pilih PKA Ke-7 atau PKA VII mumpung event budaya ini baru akan digelar pada 5-15 Agustus nanti? Atau meskipun menyimpangi kaidah penulisan bilangan bertingkat, beranikan saja pakai term PKA 7, lalu buat dalih bahwa itu adalah gaya selingkung khas Aceh.
Demikian, sekadar untuk memancing diskusi.
Banda Aceh, 5 Juni 2018
Saleuem,
YD
Pembina FAMe dan Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia
Menarik sekali bahasan kali ini, Pak @yarmen-dinamika.
Saya punya uneg-uneg. Apakah PKA Ke-7 tersebut sebaiknya ditulis PKA Ke-7 dengan huruf /K/ kapital atau PKA ke-7 dengan huruf /k/ kecil?
Harus dgn huruf kapital @ranggaputra, karena semua bagian dari frasa itu adalah judul kegiatan resmi.
Lalu bagaimana penggunaannya pada judul tulisan? Misalnya, "Jokowi adalah Presiden ke-16 Indonesia."
Apakah perlakuan /ke-/ pada judul itu sama dengan /ke-/ pada tajuk sebuah kegiatan resmi?
Maaf ya Pak @yarmen-dinamika saya banyak tanya. Hehehe...
Kalau judul yang @ranggaputra contohkan itu termasuk contoh yang salah, karena angka bilangan tingkatnya salah Rangga tulis. Presiden kita baru tujuh orang. Seharusnya Jokowi adalah presiden ketujuh di negeri ini. Selain itu ditulis dengan kapital huruf awalnya, sehingga menjadi Ke-7 atau Ketujuh.
Siap. Berarti /ke-/ pada judul ditulis kapital.
Sekarang soal logika bahasa. "Jokowi adalah Presiden RI Ke-16" atau "Jokowi adalah Orang Ke-7 yang Menjadi Presiden RI."
Yang benar Bung @ranggaputra adalah Jokowi, Presiden Ke-7 Republik Indonesia.
Bukankah urutan presiden itu tidak dihitung dari urutan orang yang menjabatnya? Tetapi dari urutan pemilu yang digelar untuk memilih sang presiden. Pemilu Ke-1 = Presiden Ke-1, Pemilu Ke-2 = Presiden Ke-2 dst.
Sementara, kalau menggunakan istilah "Presiden Ke-7," pemilu mendatang memilih presiden keberapa? Kalau "Ke-8," berarti individunya harus beda? Padahal bisa saja sama.
Jadi, menurut Pak @yarmen-dinamika bagaimana yang benar? Apakah tetap "Presiden Ke-7" atau "Orang Ke-7 yang Menjadi Presiden" atau "Presiden Ke-16"?
Tulisan ke 14 tentang Tertib Berbahasa Indonesia dari Kanda @yarmen-dinamika tidak hanya penting bagi kita yang harus belajar lagi banyak hal tentang Bahasa nasional kita, tetapi juga mengajak kita kembali bernostalgia ketika belajar Pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah atau Kampus.
Kehadiran Kanda @yarmen-dinamika di Steemit telah membantah asumsi kaum pesimistis tentang tidak adanya Guru Menulis di Steemit.
Terima kasih untuk 14 Seri Tulisan Tertib Berbahasa Indonesia ini, saya sangat terbantu. Tetaplah menulis untuk kami di Steemit.
Salam tabik.
Hehe...semua kita sedang belajar, Bung @bahagia-arbi. Ketika guru tak ada, murid pun kita daulat jadi "guru", sekadar untuk digugu dan ditiru, sekadar untuk mengisi kekosongan sebelum the real teacher hadir di antara kita, para pembelajar.
Sangat jelas dan bermanfaat sekali.. jarang sekali saya melihat tulisan yang kredibel di steemit seperti ini.. lanjutkan Bg @yarmen-dinamika
Sangat bermanfaat pak. Perlu kita tertibkan bahasa instansi atau lembaga pemerintah, ketika memberikan iklan atau pengumuman seperti PKA.
Bersyukur ada FAMe punya editor yg selalu jeli mengoreksi pengumuman pemberitahuan setiap kelas hari Rabu. Jadi, penulisan pertemuan ke- (bilangan bertingkatnya) selalu benar 😁
Congratulations You Got Upvote
& Your Content Also Will Got Curation From