SAYA tak habis pikir bagaimana nasib seorang pengarang ke depan jika pekerjaan ini hanya sebatas berlama-lama di depan buku dan laptop, juga bersepi-sepi dari keramaian. (Pe-) adalah bentuk imbuhan yang menjelaskan mengenai orang yang melakukan. Karangan berarti cerita. Jadi pengarang adalah sebutan orang yang membuat cerita. Padanan pengarang yang lebih dikenal di masyarakat umum adalah penulis.
Sejenis profesi yang menurut sebahagian orang mulia, terdidik, cendekia. Sebuah profesi yang menurut orang tidak semuanya mampu.
Tapi pertanyaannya adalah, apakah orang yang menasbihkan dirinya menjadi pengarang tingkat kehidupan sosialnya semulia dengan pekerjaannya? Mari lihat pengarang di sekitar kita.
Siapa yang tak kenal dengan Pengarang Cerpen Hamsad Rangkuti, seorang tokoh sastrawan dengan cerita-ceritanya yang populer di dunia sastra indonesia. Salah satu judul ceritanya "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?" Ini judul cerita yang sangat terkenal. Namun disayangkan, di masa tuanya ternyata pekerjaan kepengarangannya tak mampu menyelamatkannya dari persoalan kemiskinan. Lebih lagi sebuah kabar tak sedap tersiar setahun terakhir, bahwa Hamsad Rangkuti terbaring lemah, terkoyak dengan sakit yang diderita, tanpa ada kediaman tetap gara-gara kalah dalam pengadilan dan tanahnya dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah, sampai akhirnya derita pengarang ini bukan hanya dalam cerita-cerita tapi dalam kehidupan nyata.
Kini orang-orang terdekatnya sedang berusaha mencari jalan membantunya, kelangsungan hidup pengarang tak setenar dengan pekerjaannya. Bayangkan saja, pikiran seorang pengarang kadang dibayar dengan seadanya, karya-karyanya kadang dibajak dan dicetak foto copy, buku terbaru kadang dijadikan hanya sebagai kado dan hadiah, sedangkan memikirkan kelangsungan kepengarangan dan kehidupan menjadi nomor dua.
Saya masih ingat betul, bagaimana pengalaman pujian jika menjadi seorang pengarang datang dari kerabat dan kawan terdekat, pujian itu kadang memberikan kegilaan pada diri sendiri bagaimana kemampuannya tak dimiliki oleh orang banyak, namun penghargaan terhadap karya dan hasil buah pikiran itu tidak ada, bahkan meminjam, minta gratis bahkan hanya disimpan di rak usang buku kita sering kita jumpai. Belum lagi saya menceritakan pengalaman berbelanja di Toko buku, pikiran kita (karya) hanya diharga 5 ribu- 8 ribu dan ditumpuk di pintu masuk toko (Buku murah)
Meskipun beberapa orang pengarang kaya raya, namun tak semuanya. Ada banyak pengarang yang memikirkan biaya makannya, hanya dengan mengandalkan lewat tulisan dan penjualan buku. tapi apakah dengan mengandalkan semuanya akan memberikan perbaikan bagi kehidupan bersama keluarganya?
Bila pengarang bekerja hanya sebatas kecintaan pada buku, kapan pemikiran keras dan waktu yang berlama-lama dalam kesepian akan dihargai dengan bangga?
Apa yang dicari sebenarnya oleh pengarang sampai ia mempertahankan profesinya? ( Baca selanjutnya...)
Jeneponto, 2018
Wah ada bukunya ternyata... Hmm sayangnya jauh ya.
Posted using Partiko Android
Hehehe.. iyya kak. Menikah jauh?
Iya menikah sama orang Jawa
Posted using Partiko Android
Boleh
Posted using Partiko Android
Mau dong bukunya...
Hehehe... akhir tahun kak dicetak ulang. Hehe
Pengarang itu kehidupannya hampir mirip dengan pendidik, bukan kepuasan materi namun kepuasan batin ,apalagi pendidik honorer yg gajinya sangat minim, sungguh waktu itu aku sangat rasakan, namun rizki itu bukan kita yang ngatur, kita sekedar berupaya sedang hasilnya hak prerogativ Alloh.
Posted using Partiko Android
Pengarang menanam nisan, guru honorer menabur bunga.
Posted using Partiko Android
di Indonesia pengarang masih dipandang sebelah mata, hanya orang mujur dan gaul yang mampu menembus materi
Hehehe iya. Kita harus deklarasikan bersma, bahwa pengarang adalah pekrjaan yang harus diperhatikan
Posted using Partiko Android
Saya mau beli kalau bukunya ada.
Posted using Partiko Android