Hallo kak @mariska.lubis sangat banyak ‘perbendaharaan’ kosakata dari tulisan-tulisan kakak. Sepakat dan memang harus sih, sebagai jurnalis saya harus ikut mengkampanyekan bahwa benar, jangan mengartikan suatu kalimat itu separo-separo. Cobalah pahami sampai pada akhir kalimat.
Sama seperti membaca. Sungguh sangat disayangkan kalau hanya membaca setengah, tidak tuntas bahkan hanya membaca judulnya saja. Karena justru kita akan salah mempersepsi atau tidak memahami sama sekali isi dari tulisan tersebut.
Lebih pahitnya lagi, menurut saya adalah kita sukanya bereaksi. Bereaksi atas apa yang kita baca. Baik reaksinya positif, maupun negatif (ini paling parah). Karena belum tentuk reaksi kita sesuai dengan isi tulisan yang kita tidak baca. Hadeuh.... bagian ini sangat menyakitkan. Karena kadang, walau beri komen positif (jujur; kaya di platform ini) tetapi, komentar yang kita dapat justru banyak yang tidak nyambung dengan isi tulisan. Saya menduga itu karena banyak yang tidak baca. So, mari teman-teman membaca itu sangat penting.
Eitts,,, kembali lagi ke pemaknaan tersurat, tersirat dan ‘terjerat’. Hehe...
Kadang antara teks dan konteks itu ada perbedaan yang sangat jauh kalau diartian ‘tanggung’. Misal contoh lon menurut saya berbeda tekstual sama konteksnya adalah kota kita sering mengatakan; biarkan saja mengalir seperti air. Secara teks memang air, tapi konteksnya adalah sifat. Hehe...
Terima kasih kak @mariska.lubis senagai jurnalis, saya merasa bermanfaat sekali membaca postingan ini malam-malam ‘jomblo’ seperti ini. Hehe...
Salam dari Lhokseumawe
@zulfikarhusein
Reaksinya itu yang hedeh, ampuuunnn! Sampai suka bikin sakit kepala sendiri dan mau tanya, apa sebenarnya yang dibaca... hahaha...
semangat terus ya meski jomblo... tinggal tunggu waktu buat punya tangga dan rumah bersamaan hahaha...
Benar kk hhh lnjutkan
Hehe,, siap. 🕺🏻